Bahan Ajar
Berita
Perkembangan Ekonomi Masyarakat Indonesia Menuju Negara Maju

Perkembangan Ekonomi Masyarakat
Indonesia Menuju Negara Maju. Untuk mengetahui perekonomian indonesia mari kita
pelajari sejarah perkembangan perekonomian indonesia pada masa penjajahan, zaman
kemerdekaan, zaman reformasi sampai dengan keadaan perekonomian indonesia saat
ini.
Perkembangan Perekonomian
Indonesia Pada Masa Penjajahan
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami
masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang
pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang.
Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena diusir oleh
Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah
menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa
sejarah perekonomian Indonesia pada masa penjajahan, berikut adalah
penjelasannya :
Perkembangan Perekonomian
Indonesia Pada Masa Pendudukan Belanda
Pada masa penjajahan,Indonesia
menerapkan system perekonomian monopolis. Dimana setiap kegiatan perekonomian
dijalankan sesuai dengan penguasa perdagangan Indonesia saat itu. VOC adalah
lembaga yang menguasai perdagangan Indonesia pada saat itu, disini VOC
menerapkan peraturan dan strategi agar mereka tetap menguasai perekonomian
Indonesia. Peraturan-peraturan yang diterapkan VOC seperti kewajiban
menyerahkan hasil bumi pada VOC dan pajak hasil bumi yang dirancang untuk
mendukung monopoli tersebut. Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC
diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
·
Hak mencetak uang
·
Hak mengangkat dan
memberhentikan pegawai
·
Hak menyatakan perang
dan damai
·
Hak untuk membuat
angkatan bersenjata sendiri
·
Hak untuk membuat
perjanjian dengan raja-raja
Disamping itu VOC juga menjaga agar
harga rempah-rempah agar tetapa tinggi.antara lain dengan diadakannya
pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah. Semua aturan itu pada umumnya hanya
diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi VOC dari pola pelayaran niaga
samudera Hindia. Dengan monopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah
isi kas negeri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan
Belanda. Disamping itu juga diterapkan kewajiban menanam tanaman kopi bagi
penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton,
melebihi ekspor cengkeh yang hanya 1.050 metrik ton. Dan pada tahun 1795, VOC
bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda.
Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh
:
·
Peperangan yang
terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar,terutamaperang
Diponegoro.
·
Penggunaan tentara
sewaan memebutuhkan biaya besar
·
Korupsi yang dilakukan
pegawai VOC sendiri
·
Pembagian deviden kepada
para pemegang saham, walaupun kas defisit.
Masa Pendudukan Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak
hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan
menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan
Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia
Belanda. Selain itu, dengan menggunakan pajak tanah, maka penduduk pribumi akan
memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India.
Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk
dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari
negara penjajah. Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian
ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris
yang Cuma seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
·
Masyarakat Hindia
Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang
·
Pegawai pengukur tanah
dari inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
·
Kebijakan ini kurang
didukung raja-raja dan para bangsawan, karena inggris tak mampu mengakui
suksesi jabatan secara turun temurun.
Perkembangan Perekonomian
Indonesia Pada Masa Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa)
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa)
mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Yang bertujuan
untuk memproduksi berbagai komoditi yang permintaannya ada di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan
pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila,
tembakau, teh, kina, karet dan kelapa sawit. Sistem ini jelas menekan
penduduk pribumi, akan tetapi sangant
menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi
(monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat
perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat. Sistem
ini merupakan pengganti sistem landrent (pajak tanah) dalam rangka
memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan
menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang
pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh
pemerintah. Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuur stelstel sangat
memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodipun masih
diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara
menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli
Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf
hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa
menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini
juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin
dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi non agraris.
Dengan menerapkan cultuur stelstel,
pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa
sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah
Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk
menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu
meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa
nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
Sistem Ekonomi Pintu Terbuka
(Liberal)
Dengan adanya dorongan dari kaum
humanis belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang
lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan
ekonominya. Maka dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara
lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun,
dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini
nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain
terlihat pada :
·
Keberadaan pemerintah
Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan
swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh
penggarap tanah.
·
Prinsip keuntungan
absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja
yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong
mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
·
Laissez faire laissez
passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang peran yang
besar sebagai penjajah yang
sesungguhnya.
·
Pada akhirnya, sistem
ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah
penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak
diperlakukan layak.
Perkembangan Perekonomian Indonesia
Pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan
suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan
Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan
besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot
tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan
untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat
tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi
kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor. Segala hal
diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan
tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.
Perkembangan Perekonomian
Indonesia Pada Masa Orde Lama (1945 – 1966)
Pada awal kemerdekaan, pembangunan
ekonomi Indonesia mengarah perubahan struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional, yang bertujuan untuk memajukan industri kecil untuk memproduksi
barang pengganti impor yang pada akhirnya diharapkan mengurangi tingkat
ketergantungan luar negeri. Sistem moneter tentang perbankan khususnya bank
sentral masih berjalan seperti wajarnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya hak
ekslusif untuk mencetak uang dan memegang tanggung jawab perbankan untuk
memelihara stabilitas nasional. Bank Indonesia mampu menjaga tingkat kebebasan
dari pengambilan keputusan politik.
Masa orde lama dimulai dari tanggal
17 Agustus 1945 saat Indonesia merdeka. Pada saat itu, keadaan ekonomi
Indonesia mengalami kegiatan produksi terhenti pada tingkat inflasi yang
tinggi. Indonesia pernah mengalami sistem politik yang demokratis yakni pada
periode 1949 sampai 1956. Pada tahun tersebut, terjadi konflik politik yang berkepanjangan dimana rata-rata
umur kabinet hanya dua tahun sehingga pemerintah yang berkuasa tidak fokus
memikirkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yangterjadi pada saat itu. Selama
periode 1950an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonial,
struktur ini disebut dual society dimana struktur dualisme
menerapkandiskriminasi dalam setiap kebijakannya baik yang langsung maupun
tidak langsung. Keadaan ekonomi Indonesia menjadi bertambah buruk dibandingkan
pada masa penjajahan Belanda. Sejak tahun 1955, pembangunan ekonomi mulai
meramba ke proyek-proyek besar. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya kebijakan
Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun (1961). Kebijakan ini berisi rencana
pendirian proyek-proyek besar dan beberapa proyek kecil untuk mendukung proyek
besar tersebut. Rencana ini mencakup sektor-sektor penting dan menggunakan
perhitungan modern. Namun sayangnya Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun
ini tidak berjalan atau dapat dikatakan gagal karena beberapa sebab seperti
adanya kekurangan devisa untuk menyuplai modal serta kurangnya tenaga ahli.
Perekonomian Indonesia pada masa ini mengalami penurunan atau memburuk.
Terjadinya pengeluaran besar-besaran yang bukan ditujukan untuk pembangunan dan
pertumnbuhan ekonomi melainkan berupa pengeluaran militer untuk biaya
konfrontasi Irian Barat, Impor beras, proyek mercusuar, dan dana bebas (dana
revolusi) untuk membalas jasa teman-teman dekat dari rezim yang berkuasa.
Selain itu Indonesia mulai dikucilkan dalam pergaulan internasional dan mulai
dekat dengan negara-negara komunis. Untuk lebih jelas nya berikut ini adalah
penjelasan terperinci nya.
Pemerintahan pada masa orde lama
dibagi menjadi tiga yaitu
1) Masa Pasca Kemerdekaan
(1945-1950)
Pada masa awal kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, yang
antara lain disebabkan oleh :
a) Inflasi yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena beredarnya lebih dari
satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu
pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata
uang De Javashe Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang
pendudukan Jepang. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for
Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di
daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga
mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai
pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang
beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
b) Adanya blockade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk
menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
c)
Kas Negara kosong
d) Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi,antara lain :
a)
Program Pinjaman
Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan IR. Surachman pada bulan Juli 1946.
b)
Upaya menembus blockade
dengan diplomasi beras ke, mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika,
dan menembus blockade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan
Malaysia.
c)
Konferensi Ekonomi
Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam
menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi
dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan.
d)
Pembentukan Planning
Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
e)
Rekonstruksi dan Rasionalisasi
Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke
bidang-bidang produktif.
f)
Kasimo Plan yang intinya
mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang
praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik
(mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa Demokrasi Liberal (1950 – 1957)
Permasalah ekonomi yang dihadai oleh
bangsa Indonesia masih sama seperti sebelumnya. Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
1. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya
menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa
bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu
dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan
kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi
dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat
pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha
non-pribumi. Pada kabinet ini untuk pertama kalinya terumuskan suatu
perencanaan pembangunan yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP)
2. Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU No. 24
th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
3. Sistem ekonomi
Ali (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo,
yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi.
Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha
pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta
nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi
kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan
kredit dari pemerintah.
4. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja
Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha
Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum
bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden
5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur
ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh
pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama
dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a) Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai
berikut : Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000
menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b) Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan
stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga
naik 400%.
c)
Devaluasi yang dilakukan
pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga
uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di
masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka
tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka
inflasi.
Masa Orde Baru (1966-1997)
Pada awal orde baru, stabilisasi
ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi
pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan
kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada
awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun.
Setelah melihat pengalaman masa lalu,
dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing
dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka
dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi
pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur
tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam
kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan
sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini
adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai
berkiblat pada teori-teori Keynesian. Kebijakan ekonominya diarahkan pada
pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan
pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja,
kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran
pembangunan, dan peradilan. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai
membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun
(REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
REPELITA I (1967-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1april
1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan
sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana
terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan
lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
REPALITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah
sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sektor pertanian yang
merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan
dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
REPALITA III (1979-1984)
Prioritas tetaap pada pembangunan
ekonomi yang dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan,
serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
REPALITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA
III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong
pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja.
Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.
Jika ditarik kesimpulan maka
pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sektor pertanian
menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.
Kelebihan Pada Masa Orde Baru :
·
Perkembangan GDP per
kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai
lebih dari AS$1.000.
·
Sukses transmigrasi.
·
Sukses KB.
·
Sukses memerangi buta
huruf.
·
Sukses swasembada
pangan.
·
Pengangguran minimum.
·
Sukses REPELITA (Rencana
Pembangunan Lima Tahun).
·
Sukses Gerakan Wajib
Belajar.
·
Sukses Gerakan Nasional
Orang-Tua Asuh.
·
Sukses keamanan dalam
negeri.
·
Investor asing mau
menanamkan modal di Indonesia.
·
Sukses menumbuhkan rasa
nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.
Kekurangan Orde Baru
Semaraknya korupsi, kolusi,
nepotisme.
·
Pembangunan Indonesia
yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena
kekayaan daerah sebagian besar disedot ke
pusat.
·
Munculnya rasa
ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di
Aceh dan Papua.
·
Kecemburuan antara
penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada
tahun-tahun pertamanya.
·
Bertambahnya kesenjangan
sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin).
·
Kritik dibungkam dan
oposisi diharamkan.
·
Kebebasan pers sangat
terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel.
·
Penggunaan kekerasan
untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program “Penembakan Misterius”
(petrus).
·
Tidak ada rencana
suksesi.
Masa Reformasi
Pemerintahan reformasi diawali pada
tahun 1998. Peristiwa ini dipelopori oleh ribuan mahasiswa yang berdemo
menuntut presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya dikarenakan pemerintahan
Bapak Soerhato dianggap telah banyak merugikan Negara dan banyak yang melakukan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tahun 1998 merupakan tahun terberat bagi
pembangunan ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis moneter di Asia yang
dampaknya sangat terasa di Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai
Rp. 2.000,- menjadi sekitar Rp. 10.000,- bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali lipat
penurunan nilai rupiah terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,- sebelum
tahun 1998 senilai dengan 500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi hanya 100
US$. Hutang Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus dibayar dalam
bentuk dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang yang dimiliki
berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Ditambah lagi
dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia sebagai
syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF). Tercatat
hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar adalah hutang
komersial swasta). Pemerintahan reformasi dari tahun 1998 sampai sekarang sudah
mengalami beberapa pergantian presiden, antara lain yaitu :
Bapak B.J Habibie (21 Mei 1998 – 20
Oktober 1999)
Pada saat pemerintahan presdiden B.J
Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan perubahan-perubahan yang
cukup berarti di bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk
menstabilkan keadaan politik di Indonesia. Presiden B.J Habibie jatuh dari
pemerintahannya karena melepaskan wilayah Timor-timor dari Wilayah Indonesia
melalui jejak pendapat
Bapak Abdurrahman Wahid (20 Oktober
1999 – 23 Juli 2001)
Pada masa kepemimpinan presiden
Abdurrahman wahid pun belum ada tindakan yang cukup berati untuk menyelamatkan
Indonesia dari keterpurukan. Kepemimpinan Abdurraman Wahid berakhir karena
pemerintahannya mengahadapi masalah konflik antar etnis dan antar agama.
Ibu Megawati (23 Juli 2001 – 20 Oktober
2004)
Masa kepemimpinan Megawati mengalami
masalah-masalah yang mendesak yang harus diselesaikan yaitu pemulihan ekonomi
dan penegakan hokum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasai
persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
·
Meminta penundaan
pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan
mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun
·
Kebijakan privatisasi
BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan
tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik
dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi,
karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Megawati bermaksud
mengambil jalan tengah dengan menjual beberapa asset Negara untuk membayar
hutang luar negeri. Akan tetapi, hutang Negara tetap saja menggelembung karena
pemasukan Negara dari berbagai asset telah hilang dan pendapatan Negara menjadi
sangat berkurang.
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (20
Oktober 2004-sekarang)
Masa kepemimpinan SBY terdapat
kebijakan yang sikapnya kontroversial yaitu :
·
Mengurangi subsidi BBM
atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh
naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke sektor pendidikan
dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung kesejahteraan masyarakat.
·
Kebijakan kontroversial
pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung
Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang
berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
·
Mengandalkan pembangunan
infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang
investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah
diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu,
yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepaladaerah. Investasi
merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari
kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi
investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi
undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
·
Lembaga kenegaraan KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dijalankan pada pemerintahan SBY mampu
memberantas para koruptor tetapi masih tertinggal jauh dari jangkauan
sebelumnya karena SBY menerapkan sistem Soft Law bukan Hard Law. Artinya SBY
tidak menindak tegas orang-orang yang melakukan KKN sehingga banyak terjadi
money politic dan koruptor-koruptor tidak akan jera dan banyak yang
mengulanginya. Dilihat dari semua itu Negara dapat dirugikan secara
besar-besaran dan sampai saat ini perekonomian Negara tidak stabil.
·
Program konversi bahan
bakar minyak ke bahan bakar gas dikarenakan persediaan bahan bakar minyak
semakin menipis dan harga di pasaran tinggi.
·
Kebijakan impor beras,
tetapi kebijakan ini membuat para petani menjerit karena harga gabah menjadi
anjlok atau turun drastis
Pada tahun 2006 Indonesia melunasi
seluruh sisa hutang pada IMF (International Monetary Fund). Dengan ini, maka
diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan
kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri
kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara
penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari
35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret
2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran
kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka
menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada
turunnya investasi. Pengeluaran Negara pun juga semakin membengkak dikarenakan
sering terjadinya bencana alam yang menimpa negeri ini.
Perkembangan Ekonomi Indonesia
Saat ini Menuju Negara Maju
Optimisme Perkembangan Ekonomi Masyarakat Indonesia Menuju Negara
Maju. Menurut Bank Dunia, Easy of Doing Business Indonesia
menduduki peringkat ke-73 pada 2018. Pemeringkatan ini dilakukan setiap tahun
oleh Bank Dunia. Sedangkan berdasarkan laporan dari lembaga pemeringkat global
Standard & Poor (S&P) yang dilansir dilansir dalam laporan 31 Mei 2019 menaikkan
peringkat utang Indonesia menjadi BBB dari semula BBB. Seperti, lembaga itu
memberikan peringkat 'BBB' karena Indonesia mampu menunjukkan pertumbuhan
ekonomi yang kokoh didukung oleh kebijakan fiskal yang prudent. Dalam
laporannya, Standard & Poor (S&P) menuliskan bahwa perekonomian
Indonesia berhasil tumbuh lebih cepat daripada rekan-rekannya di tingkat
pendapatan yang sama. Pertumbuhan riil per kapital Produk Domestik Bruto (PDB)
negara ini mencapai 4,1% (rata-rata tertimbang 10 tahun).
Kita
patut bersyukur bonus demografi ("demographic window") tengah dialami
oleh bangsa Indonesia, dimana proporsi populasi kelompok usia pekerja
mengungguli populasi kelompok non-usia pekerja. Merujuk data BKKBN, diperkirakan
Indonesia akan mendapatkan bonus demografi pada tahun 2020 hingga 2030, kondisi
dimana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar (70 persen
dari total penduduk atau sekitar 180 juta penduduk), dibandingkan dengan
penduduk usia tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan di atas usia 65
tahun) yang hanya berjumlah sekitar 60 juta jiwa.
Momentum
ini harus dapat dioptimalkan nilai tambahnya dengan menciptakan ekosistem yang
kondusif untuk berkonstribusi pada kemajuan Indonesia, agar dapat keluar dari
jebakan negara berpenghasilan menengah, khususnya dalam mengkapitalisasi bonus
demografi melalui transformasi ekonomi agar menghasilkan pertumbuhan yang
berkelanjutan, berdaya saing, dan berkualitas.
Transformasi
ekonomi merupakan suatu keniscayaan ditengah kondisi global yang yang tengah
mengalami ketidakpastian akibat kompetisi yang semakin tajam, geostrategis
ekonomi global berubah cepat akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS)
dan Tiongkok. Selain itu penurunan harga komoditas dan volume perdagangan
dunia, serta pelonggaran kebijakan moneter yang diambil sejumlah negara rentan
terhadap negara lainnya.
Kita
patut mengapresiasi berbagai langkah strategis kebijakan ekonomi Indonesia yang
telah diambil pemerintah yang mampu menciptakan kemajuan berarti ditengah
ketidakpastian ekonomi global, indikasinya terlihat dari pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang sesungguhnya masih berada pada tren positif, bila dibandingkan
negara besar lainnya.
Pada
kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,05% (year on
year/yoy), inflasi pun terjaga dalam rentang target. Sejumlah indikator sosial
membaik, tingkat kemiskinan yang tetap pada level 1 (satu) digit, rasio gini
dan tingkat pengangguran juga semakin menurun. Artinya, ekonomi kita sehat dan
berkualitas.
Untuk
memperkokoh hal tersebut menjadi nyatalah pentingnya transformasi ekonomi,
untuk menjaga momentum positif guna dapat terus meningkatkan kemakmuran warga
negara. Transformasi ekonomi merupakan prasyarat dari peningkatan dan
kesinambungan pertumbuhan serta penanggulangan kemiskinan, sekaligus pendukung
bagi keberlanjutan pembangunan.
Transformasi
ekonomi yang terjadi diharapkan dapat menggeser struktur ekonomi yang semula
berbasis komoditas, menjadi ekonomi berbasis investasi, produksi, dan pelayanan
yang memiliki nilai tambah tinggi. Hal ini dapat meningkatkan daya saing
perekonomian Indonesia dan kualitas hidup masyarakat.
Transformasi
ekonomi yang digagas seyogyanya berfokus pada pemanfaatan potensi desa sebagai
basis pertumbuhan ekonomi daerah, yang nantinya akan berdampak pada peningkatan
kualitas hidup masyarakat. Dengan transformasi ekonomi berbasis industry
pertanian, petani lebih efisien memanfaatkan infrastruktur yang memadai dan
teknologi pertanian yang maju, serta kepastian adanya offtaker yang akan
membeli produk pertaniannya dengan harga yang baik.
Diperlukan
upaya mengoptimalkan manfaat yang diperoleh dari pembangunan infrastruktur yang
telah dan akan terus secara massif dilakukan pemerintahan saat ini, sambil
memperkuat implementasi Kebijakan Pemerataan Ekonomi. Kebijakan ini diarahkan
untuk mengatasi faktor-faktor ketimpangan melalui pilar kebijakan ekonomi yang
berkeadilan, melalui Reforma Agraria yang terdiri dari Tanah Objek Reforma
Agraria (TORA), Perhutanan Sosial, dan moratorium serta peremajaan perkebunan
kelapa sawit.
Di
samping itu, efisiensi pasar tenaga kerja dan peningkatan kualitas SDM menjadi
tantangan bagi para pemangku kepentingan, utamanya dalam menciptakan regulasi
yang mampu menyiapkan SDM berkualitas, serta memastikan pekerja mendapat
pekerjaan yang layak melalui peningkatan keterampilan yang berkelanjutan.
Terakhir
yang tak kalah penting adalah konfigurasi investasi untuk mendukung
pertumbuhan, karena saat ini ICOR Indonesia tergolong tinggi jika dibandingkan
dengan negara peers seperti Vietnam dan India. Hal ini menandakan bahwa
investasi di Indonesia secara makro kurang efisien.
Oleh
karena diperlukan strategi konfigurasi investasi yang diarahkan untuk dapat
menurunkan ICOR melalui penurunan suku bunga riil, optimalisasi investasi yang
memberikan return lebih cepat dan berorientasi ekspor, efisiensi produksi
melalui pengembangan sumber energi murah, pengembangan SDM dan reformasi pasar
ketenagakerjaan, dan juga digitalisasi untuk meningkatkan efisiensi serta
optimalisasi underutilized assets dan resources.
Bercermin
dari besarnya tantangan yang dihadapi Indonesia, menjadi jelaslah betapa
pentingnya sinergi dan dukungan dari seluruh sektor maupun stakeholder di
bidang ekonomi langkah strategis dalam mengefektifkan penguatan koordinasi dan
dukungan kebijakan dari seluruh sektor di bidang ekonomi, mulai dari kebijakan
fiskal, moneter dan keuangan, serta kebijakan dari kementerian teknis sangat
diperlukan.
Kerja
keras dan fokus perlu terus diupayakan agar target pertumbuhan dan peningkatan
transformasi ekonomi sebagaimana yang telah digariskan, dapat dicapai dengan
memberi perhatian khusus terhadap peningkatan kualitas SDM melalui peran aktif
menyukseskan program pendidikan formal mapun non-formal seperti balai latihan
kerja (BLK) dan alih teknologi yang menjadi kata kunci suksesnya
industrialisasi.
Sikap
optimistis perlu terus ditumbuhkan, pondasi ekonomi yang telah dibangun, agar
dapat menjadi pijakan dalam transformasi ekonomi, sehingga mampu meningkatkan
daya saing ekonomi Indonesia merebut peluang pasar.
Kita
tentunya berharap dengan semangat gotong
royong dan sinergitas dari segenap komponen bangsa, utamanya dalam membangun optimisme kemajuan Indonesia melalui transformasi
ekonomi, mimpi Indonesia menjadi negara maju dengan pendapatan Rp 320
juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per bulan, Produk Domestik
Bruto Indonesia 7 triliun dollar AS dan
menjadi 5 besar ekonomi dunia, dengan kemiskinan mendekati nol persen pada tahun 2045, akan segera terwujud. Semoga.
No comments