Berita
PKPU NOMOR 18 TAHUN 2019, NAPI KASUS KORUPSI BISA IKUT PILKADA 2020
![]() |
PKPU NOMOR 18 TAHUN 2019, NAPI KASUS KORUPSI BISA IKUT PILKADA 2020 |
Berdasarkan PKPU Nomor 18 Tahun 2019, Napi Kasus Korupsi Juga Bisa Ikut Pilkada 2020. Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar menyatakan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan dalam Pilkada 2020, telah sesuai peraturan dan tak bertentangan dengan Undang-Undang.
PKPU tentang pencalonan
dalam Pilkada 2020 itu tercatat dalam PKPU Nomor 18 Tahun 2019 Tentang
Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang ditetapkan pada 2 Desember 2019.
"PKPU sesuai dengan
dengan peraturan dan tak bertentangan dengan undang-undang sebagaimana hasil
Rapat Dengar Pendapat antara KPU RI, Bawaslu RI Pemerintah dan Komisi II DPR
beberapa waktu lalu," kata Bahtiar melalui keterangan tertulisnya, Sabtu,
7 Desember 2019.
Dalam Pasal 4 soal
persyaratan calon kepala daerah, tidak ada larangan bagi mantan terpidana
korupsi.
Penambahan norma Pasal 3A
ayat (3) dan ayat (4) oleh KPU, dengan menggunakan frasa mengutamakan bukanlah
norma persyaratan dan tidak mengikat, norma yang hanya bersifat imbauan.
Frasa mengutamakan, kata
dia, bukan berarti melarang calon kepala daerah berlatar belakang mantan
narapidana korupsi mengikuti seleksi calon kepala daerah yang dilakukan oleh
parpol. "Hal sepenuhnya adalah kewenangan partai politik," ujarnya.
Ia menuturkan bila larangan
pencalonan mantan napi kasus korupsi dimasukkan ke dalam PKPU, maka ketentuan
tersebut melebihi amanat yang tertuang dalam Pasal 7 ayat 2 huruf g dan
penjelasan pasal 7 ayat 2 huruf g Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang
perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
"Pembatasan hak
seseorang berdasarkan pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 harus dilakukan melalui undang-undang, bukan
melalui peraturan teknis," ujarnya.
Ketentuan tersebut juga
telah dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XIII/2015 di mana
mantan terpidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala
daerah sepanjang mengemukakan secara terbuka dan jujur kepada publik sebagai
mantan terpidana.
Isi Pasal 4 ayat 1 huruf h
tersebut masih sama dengan aturan sebelumnya yakni PKPU Nomor 7 Tahun 2017 yang
hanya mengatur larangan bagi dua mantan terpidana, yang berbunyi “Bukan Mantan
Terpidana Bandar Narkoba dan Bukan Mantan Terpidana Kejahatan Seksual terhadap
Anak.”
Dalam pasal 4 PKPU Nomor 18
Tahun 2019, kata dia, tidak ada syarat pencalonan bagi bukan mantan narapidana
korupsi. Artinya, mantan napi kasus korupsi tetap boleh mencalonkan diri
sepanjang diusulkan Parpol sesuai ketentuan Pasal 7 huruf g UU Nomor 10 Tahun
2016, yang berbunyi "tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap."
Atau, kata dia, bagi mantan
terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana.
"Pemahaman tentang
PKPU Nomor 18 tahun 2019 perlu disebarluaskan kepada publik agar masyarakat
memahami substansinya dan adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan Pilkada
Serentak tahun 2020 mendatang," ucapnya.
Komisi Pemilihan Umum
sebelumnya tetap ingin memasukkan kembali aturan pelarangan narapidana koruptor
mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah. Hal itu karena dua alasan,
seperti yang dikatakan Ketua KPU, Arief Budiman. Pertama, KPU khawatir
terpidana korupsi tidak bisa menjalankan amanat karena mesti menjalani proses
peradilan.
Arief mengatakan boleh saja
orang bilang untuk menyerahkan saja kepada pemilih. Toh, pemilih nanti akan
memilih yang terbaik. Tapi faktanya, kata Arief, ada calon kepala daerah yang
sudah ditangkap, ditahan, dan dia tidak akan bisa menggunakan hak pilih tapi
dia menang Pemilu.
Akhirnya, orang tersebut
tidak bisa memimpin karena dirinya harus menjalani proses peradilan. Sehingga
ditunjuk orang lain yang memimpin daerah tersebut. "Itu fakta. Menyerahkan
kepada masyarakat (akibatnya) seperti itu," ujar Arief.
Alasan kedua mengapa KPU
'ngotot' ingin agar terpidana korupsi tidak ikut mencalonkan diri dalam
Pemilihan Kepala Daerah adalah karena KPU tidak ingin terpidana yang melakukan
tindak pidana korupsi, terpilih lagi menjadi kepala daerah sehingga ia melakukan
tindak pidana korupsi lagi.
No comments